PEMIKIRAN AL-MAWARDI DAN AL-
GHAZALI
MAKALAH
Diususun
Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata
Kuliah : Sejarah Ekonomi Islam
Dosen
Pengampu :H. Amirus Sodiq, Lc,MA
Disusun
Oleh :
Achmad
Zaidun (212182)
Noer
Shoeb (212191)
Muhammad
sirril wafa (212199)
Siti
Yulaikah (212207)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM / EI
TAHUN
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam literatur
Islam ,sangat jarang ditemukan tulisan tentang sejarah ekonomi Islam.Apa yang
dipahami dari sejarah peradapan ekonomi islam ,hakikatnya adalah memahami
sejarah perjalan Islam yang titik puncaknya adalah sejarah hidup Rasulullah
SAW.
Membicarakan pemikiran Islam ,lebih khususnya filsafat islam tidak
akan lengkap jika tidak mencantumkan nama al-Ghazali dan al-Mawadi.Orang ini
memang unik ,memiliki berbagai kemampuan yang mumpuni diberbagai bidang
pengetahuan .Karenanya,tidaklah mengherankan bila bahwa sebutan yang
dialamatkan terhadapnya.Mungkin lebih jelasnya akan di bahas di dalam isi makalah yang lebih
mendalam.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
pemikiran dari al- Mawadi terhadap perekonomian ?
2.
Bagaimana
pemikiran dari al- Ghazali terhadap perekonomian ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pemikiran
AL-Mawardi di dalam bidang ekonomi
Pemikiran ekonomi
Al-Mawardi tersebar paling tidak pada tiga buah karya tulisnya, yaitu Kitab
Adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Hawi dan al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Dalam
kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, ia memaparkan tentang perilaku ekonomi
seorang muslim serta empat jenis mata pencaharian utama, yaitu pertanian,
peternakan, perdagangan dan industry. Dalam kitab al-hawi, membahas
tentang Mudharabah dalam pandangan berbagai mazhab. Dalam kitab al-Ahkam
As-Sulthaniyyah, ia banyak menguraikan tentang system pemerintahan dan
administrasi agama islam, seperti hak dan kewajiban penguasa terhadap
rakyatnya, berbaga lembaga Negara, penerimaan dan pengeluarn Negara, serta
Institusi Hibah.[1]
Ø
Negara dan aktifitas
ekonomi
Teori keuangan public selalu terkait dengan peran Negara dalam kehidupan
ekonomi, yang sangat berperan untuk memenuhi kebutuhan kolektif seluruh warga
negaranya.Al-Mawardi berpendapat bahwa pelaksanaan Imamah (kepemimpinan
politik keagamaan) merupakan kekuasaan mutlak (absolut) dan pembentukanya
merupakan suatu keharusan demi terpeliharanya agama dan pengelolaan dunia.[2]
Dalam perspektif ekonomi, pernytaan Al-Mawardi ini berarti bahwa Negara
memiliki peran aktif demi trealisasinya tujuan material dan sepiritual. Yang
menjadi kewajiban moral bagi bangsa dalam membantu merealisasikan kebaikan
bersama, yaitu memelihara kepentingan masyarakat serta mempertahankan
stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.[3]
Selanjutnya al-mawardi berpendapat bahwa Negara harus menyediakan
infrastruktur yang diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum.
Menurutnya,
“ jika hidup dikota menjadi tidak mungkin karena tidak berfungsinya fasilitas sumber air
minum, atau rusaknya tembok kota, maka Negara harus bertanggung jawab untuk
memperbaikinya dan, jika tidak memiliki dana, Negara harus menemukan jalan
untuk memperolehnya.
Dalam mengadakan proyek dalam
kerangka pemenuhan kepentingan umum, Negara dapat menggunakan dana Baitul Mal
atau membebankan kepada individu-individu yang memiliki sumber keuangan yang
memadai.
Tugas-tugas Negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga Negara
sebagai berikut :
a.
Melindungi agama
b.
Menegakkan hukum dan stabilitas
c.
Memelihara batas Negara islam
d.
Menyediakan iklim ekonomi yang kondusif
e. Menyediakan administrasi public,
peradilan, dan pelaksanaan hukum islam
f. Mengumpulkn pendapat dari berbagai
sumber yang tersedia serta menaikannya dengan menerapkan pajak baru jika
situasi menuntutnya
g. Membelanjakan dana Baitul Mal untuk
berbagai tujuan yang telah menjadi kewajibanya.[4]
Ø
Perpajakan
Sebagaimana trend pada masa klasik, masalah perpajakan juga tidak
luput dari perhatian Al-Mawardi. Menurutnya penilaian atas kharaj harus
bervariasi sesuai dengan factor-faktor yang menentukan kemampuan tanah
dalam membayar pajak, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman dan sistem irigasi.
Di samping ketiga factor tersebut, Al-Mawardi juga mengungkapkan factor yang
lain, yaitu jarak antara tanah yang menjadi objek kharaj dengan pasar.
Dengan demikian, dalam pandangan
Al-Mawardi, keadilan baru akan terwujud terhadap para pembayar pajak jika para
petugas pemungut pajak mempertimbangkan setidaknya empat factor dalam melakukan
penilaian suatu objek kharaj, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman,
sistem irigasi dan jarak tanah ke pasar. Tentang metode penetapan kharaj,
Al-Mawardi menyarankan untuk menggunakan salah satu dari tiga metode yang
pernah diterapkan dalam sejarah Islam, yaitu:
a. Metode Misahah, yaitu metode
penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah.
b Metode penetapan kharaj berdasarkan
ukuran tanah yang ditanami saja.
c. Metode Musaqah, yaitu metode penetapan kharaj
berdasarkan persentase dari hasil produksi.
Ø
Baitul Mal
Seperti yang telah dikemukakan, Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk membiayai
belanja negara dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya, negara
membutuhkan lembaga keuangan negara (Baitul Mal) yang didirikan secara
permanen. Melalui lembaga ini, pendapatan negara dari berbagai sumber akan
disimpan dalam pos yang terpisah dan dibelanjakan sesuai dengan alokasinya
masing-masing.
Lebih jauh, Al-Mawardi menegaskan, adalah tanggung jawab Baitul Mal untuk
memenuhi kebutuhan public.Ia mengklasifikasikan berbagai tanggung jawab Baitul
Mal ke dalam dua hal, yaitu:
a. Tanggung jawab yang timbul dari berbagai
harta benda yang disimpan di Baitul Mal sebagai amanah untuk didistribusikan
kepada mereka yang berhak, dan
b. Tanggung jawab yang timbul seiring dengan adanya
pendapatan yang menjadi asset kekayaan Baitul Mal itu sendiri.
B. Pemikiran Al-Ghazali dalam bidang Ekonomi
1. Pertukaran Sukarela dan Evolusi Pasar
Pasar merupakan suatu tempat bertemunya antara penjual dengan pembeli. Proses
timbulnya pasar yang berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran untuk
menentukan harga dan laba. Tidak disangsikan lagi, Al-Ghazali tampaknya
membangun dasar- dasar dari apa yang kemudian dikenal sebagai “ Semangat
Kapitalisme”.
Bagi Al-Ghazali, pasar berevolusi sebagai bagian dari ‘’hukum alam’’ segala
sesuatu, yakni sebuah ekspresi berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri
untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi. Al- Ghazali jelas-jelas menyatakan “
mutualitas” dalam pertukaran ekonomi yang mengharuskan spesialisasi dan
pembagian kerja menurut daerah dan sumber daya.
a. Permintaan, Penawaran, Harga, dan Laba
Sepanjang tulisannya, Al- Ghazali berbicara mengenai “ harga yang berlaku
seperti yang ditentukan oleh praktek- praktek pasar”, sebuah konsep yang
dikemudian hari dikenal sebagai al-tsaman al- adil ( harga yang adil)
dikalangan ilmuan muslin atau equilibrium price ( harga keseimbangan ) dari
kalangan Eropa kontemporer.[5]
Beberapa paragraf dari tulisannya juga jelas menunjukkan bentuk kurva
penawaran dan permintaan. Untuk kurva penawaran yang ”naik dari kiri bawah ke
kanan atas” dinyatakan oleh dia sebagai ”jika petani tidak mendapatkan pembeli
dan barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah”. Sementara
untuk kurva permintaan yang ”turun dari kiri atas ke kanan bawah”
dijelaskan oleh dia sebagai ”harga dapat diturunkan dengan mengurangi
permintaan”.[6]
b. Etika Perilaku Pasar
Dalam pandangan Al- Ghazali , pasar harus berfungsi berdasarkan etika dan
moral pelakunya.Secara khusus memperingatkan larangan mengambil keuntungan
dengan cara menimbun makanan dan barang- barang lainnya, memberikan informasi
yang salah mengenai berat, jumlah dan harga barangnya.
3. Aktivitas
Produksi
Imam Al- Ghazali mengklasifikasikan aktivitas produksi menurut kepentingan
sosialnya serta menitikberatkan perlunya kerjasama dan koordinasi. Fokus
utamanya adalah tentang jenis aktivitas yang sesuai dengan dasar- dasar etos
Islam.[7]
a. Produksi Barang- barang
Kebutuhan Dasar Sebagai Kewajiban Sosial
Dalam hal ini, pada prinsipnya , negara harus bertanggung jawab dalam
menjamin kebutuhan masyarakat terhadap barang- barang kebutuhan pokok.
Disamping itu Al- Ghazali beralasan bahwa ketidak seimbangan antara jumlah
barang kebutuhan pokok yang tersedia dengan yang dibutuhkan masyarakat
cenderung akan merusak kehidupan masyarakat.
b. Hierarki Produksi
Klasifikasi aktivitas produksi yang diberikan Al-Ghazali hampir mirip
dengan klasifikasi yang terdapat dalam pembahasan kontemporer, yakni primer(
agrikultur), sekunder ( manufaktur), dan tersier( jasa). Secara garis besar, ia
membagi aktivitas produksi kedalam tiga kelompok berikut:[8]
1. Industri dasar , yakni industri- industri
yang menjaga kelangsungan hidup manusia.
2. Aktivitas
penyokong, yakni aktivitas yang bersifat tambahan bagi industri dasar.
3.
Aktivitas komplementer, yakni yang berkaitan dengan industri dasar.
c. Tahapan Produksi , Spesialisasi, dan Keterkaitannya
Al-Ghazali mengakui adanya tahapan produksi yang beragam sebelum produk
dikonsumsi. Selanjutnya , ia menyadari “ kaitan” yang sering kali terdapat
dalam mata rantai produksi – sebuah gagasan yang sangat dikenal dalam
pembahasan kontemporer.
Tahapan dan keterkaitan produksi yang beragam mensyaratkan adanya pembagian
kerja , koordinasi dan kerja sama. Ia juga menawarkan gagasan mengenai
spesialisasi dan saling ketergantungan dalam keluarga.
3. Barter dan Evolusi Uang
Tampaknya Al- Ghazali menyadari bahwa salah satu penemuan terpenting dalam
perekonomian adalah uang. Ia menjelaskan bagaimana uang mengatasi permasalahan
yang timbul dari pertukaran barter.
a) Problema Barter dan Kebutuhan Terhadap Uang
Al-Ghazali mempunyai wawasan yang sangat kompherhensif mengenai berbagai
problema barter yang dalam istilah modren disebut sebagai:
1) Kurang
memiliki angka penyebut yang sama( lack
of common denominator)
2) Barang
tidak dapat dibagi- bagi(indivisibility
of goods)
3)
Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double
coincidence of wants)
Walaupun dapat dilakukan, pertukaran barter menjadi sangat tidak efisien
karena adanya perbedaan karakteristik barang- barang ( seperti unta dengan
kunyit).
Fungsi uang menurut
Ghazali adalah:
·
Sebagai satuan hitung (unit
of account)
·
Media penukaran (medim
of exchange)
·
Sebagai penyimpan
kekayaan (store of value)
Adapun fungsi uang yang ketiga ini menurutnya adalah bukan fungsi uang yang
sesungguhnya. Sebab, ia menganggap fungsi tersebut adalah sama saja dengan
penimbunan harta yang nantinya akan berakibat pada pertambahan jumlah
pengangguran dalam kegiatan ekonomi dan hal tersebut merupakan perbuatan zalim
b) Uang yang Tidak Bermanfaat dan Penimbunan Bertentangan
Dengan Ilahi
Dalam hal ini , Al- Ghazali menekankan bahwa uang tidak di inginkan karena
uang itu sendiri. Uang baru akan memiliki nilai jika digunakan dalam suatu
pertukaran. Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tujuan satu- satunya dari emas dan
perak adalah untuk dipergunakan sebagai uang ( dinar dan dirham). Ia mengutuk
mereka yang menimbun kepingan- kepingan uang atau mengubahnya menjadi bentuk
lain.
Al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang melakukan penimbunan uang merupaka
orang yang berbuat zalim dan menghilangkan hikmah yang terkandung dalam
penciptaannya. Allah berfirman dalam surat at-Taubah ayat 24: ”dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih”
c) Pemalsuan dan Penurunan Nilai Uang
Dalam hai ini ia membolehkan kemungkinan uang representatif ( token money),
seperti yang kita kenal dengan istilah modern- sebuah pemikiran yang
mengantarkan kita pada apa yang disebut sebagai teori uang feodalistik yang
menyatakan bahwa hak bendahara publik untuk mengubah muatan logam dalam mata
uang merupakan monopoli penguasa feoda.
d) Larangan Riba
Al- Ghazali menyatakan bahwa menetapkan bunga atas utang piutang berarti
membelokkan uang darifungsi utamanya, yakni untuk mengukur kegunaan objek
pertukaran. Oleh karena itu, bila jumlah uang yang diterima lebih banyak dari
pada jumlah uang yang diberikan , akan terjadi perubahan standar nilai.
Perubahan ini terlarang.
4. Peranan Negara dan Keuangan Publik
Dalam hal ini, ia tidak ragu- ragu menghukum penguasa. Ia menganggab negara
sebagai lembaga yang penting, tidak hanya bagi berjalannya aktifitas ekonomi
dari suatu masyarakat dengan baik, tetapi juga untuk memenuhi kewajiban sosial
sebagaimana yang diatur oleh wahyu. Ia menyatakan:
“ Negara dan agama
adalah tiang- tiang yang tidak dapat dipisahkan darisebuah masyarakat yang
teratur. Agama adalah fondasinya , dan penguasa yang mewakili negara adalah
penyebar dan pelindungnya; bila salah satu dari tiang ini lemah, masyarakat
akan ambruk.”[9]
a. Kemajuan Ekonomi Melalui Keadilan, Kedamaian dan
Stabilitas
Al- Ghazali menitik beratkan bahwa untuk meningkatkan kemakmuran ekonomi,
negara harus menegakkan keadilan, kedamaian dan keamanan , serta stabilitas. Ia
menekankan perlunya keadilan serta “ aturan yang adil dan seimbang”.
Al- Ghazali berpendapat negara bertanggung jawab dalam menciptakan kondisi
yang layak untuk meningkatkan kemakmuran dan pembangunan ekonomi. Disamping itu
, ia juga menulis panjang lebar mengenai lembaga al- Hisbah, sebuah badan
pengawasan yang dipakai di banyak negara Islam pada waktu ini. Fungsi utama
badan ini adalah untuk mengawasi praktik- raktik pasar yang merugikan.[10]
Gambaran Al- Ghazali mengenai peranan khusus yang dimainkan oleh negara
dan penguasa dituliskan dalam sebuah
buku tersendiri yang berjudul Kitab Nasihat Al- Muluk.
b. Keuangan Publik
Al- Ghazali memberikan penjelasan yang rinci mengenai peran dan fungsi
keuangan publik. Ia memperhatikan kedua sisi anggaran , baik sisi pendapatan
maupun sisi pengeluaran.
1)
Sumber- sumber Pendapatan Negara
Berkaitan dengan berbagai sumber pendapatan negara, Al-Ghazali memulai
dengan pembahasan mengenai pendapatan yang seharusnya dikumpulkan dari seluruh
penduduk, baik muslim maupun non muslim, berdasarkan hukum Islam.
Al- Ghazali menyebutkan bahwa salah satu sumber pendapatan yang halal
adalah harta tanpa ahli waris pemiliknya, tidak dapat dilacak, ditambah
sumbangan sedekahah atau wakaf yang tidak ada pengelolanya.
Pajak- pajak yang dikumpulkan dari non muslim berupa Ghanimah, Fai,jaziyah dan upeti atau amwal al masalih. Ghanimah adalah pajak atas harta yang disita
setelah atau selama perang.Fai adalah
kepemilikan yang diperoleh tanpa melalui peperangan.Jaziyah dikumpulkan dari
kaum non – muslim sebagai imbalan dari dua keuntungan : pembebasan wajib
militer dan perlindungan hak- hak sebagai penduduk.
Disamping itu, Al- Ghazali juga memberikan pemikiran tentang hal- hal lain
yang berkaitan dengan permasalahan pajak seperti administrasi pajak dan
pembagian beban diantara para pembayar pajak.
2) Utang
Publik
Dengan melihat kondisi ekonomi, Al-Ghazali mengzinkan utang publik jika
memungkinkan untuk menjamin pembayaran kembali dari pendapatan dimasa yang akan
datang. Contoh utang seperti ini adalah revenue
bonds yang digunakan secara luas oleh pemerintah pusat dan lokal di Amerika
Serikat.
3) Pengeluaran
Publik
Penggambaran fungsional dari pengeluaran publik yang direkomendasikan Al-
Ghazali bersifat agak luas dan longgar , yakni penegakan keadilan dan
stabilitas negara, serta pengembangan suatu masyarakat yang makmur.
Mengenai pembangunan masyarakat secara umum Al- Ghazali menunjukkan
perlunya membangun infrastruktur sosioekonomi.
Al- Ghazali mengakui “ Konsumsi bersama” dan aspek spill- over dari barang-
barang publik. Di lain tempat ia menyatakan bahwa pengeluaran publik dapat
diadakan untuk fungsi- fungsi seperti pendidikan, hukum dan administrasi
publik, pertahanan dan pelayanan kesehatan. [11]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pemikiran al-Mawadi
memperkenalkan Negara dan aktifitas
ekonomi,perpajakan,baitul mal yang di kupas secara rinci dan mendalam.Pemikiran
al –Ghazali yang memperkenalkan teori permintaan dan penawaran ;jika petani
tidak mendapatkan pembelian dan barangnya,ia akan menjualnya pada harga yang
lebih murah sementara harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan.Mungkin
itu singkatnya dan lebih rinci bisa di lihat di isi makalah,mungkin hanya itu
yang bisa saya sampaikan kurang lebihnya mohon maaf.semoga bermanfaat.Amin
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A Karim.2004. Ekonomi islam suatu kajian kontemporer.
Jakarta: Gema insani press.
M. Najatullah Siddiqi, Islamic Economic Thought: foundation,
Evolution and Needed Direction, dalam Abdul Hasan M. Sideq dan Aidit
Ghazali (ed), Readings in Islamic Economic Thought (Selangor Darul
Ehsan: Longman Malaysia, 1992)
[1] M. Najatullah Siddiqi, Islamic Economic Thought: foundation,
Evolution and Needed Direction, dalam Abdul Hasan M. Sideq dan Aidit
Ghazali (ed), Readings in Islamic Economic Thought (Selangor Darul Ehsan:
Longman Malaysia, 1992), hlm. 18
[2] Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah ,Bairut: Dar al-Kutub, 1978,
hlm.5.
[3] Sabahuddin Azmi, op. cit., hlm.40.
[4] Al-Mawardi, Op. Cit., hlm. 15-16.
[5] . Adiwarman A Karim. Sejarah pemikiran ekonomi islam. (jakarta: raja
grafindo persada, 2010) hal 322
[8] . Adiwarman A Karim. Ekonomi islam suatu kajian kontemporer. (jakarta:
gema insani press, 2004) hal.158